Saya ingat waktu kuliah akta-4 di FIP sesaat setelah saya lulus. Motivasinya saat itu juga patut dipertanyakan soalnya di jurusan saya juga sudah ada program gelar ganda. Mungkin saya sudah bosen di jurusan, atau mungkin juga ingin suasana yang bukan 'itu-itu saja'. Tetapi tidak juga, karena saya juga sering nongkrong di kantin Ekonomi sehingga nggak cuma melihat yang 'itu-itu saja'.
Mungkin juga saat lulus saya sedang jomblo dan saat melihat di buku daftar wisuda gak ada yang menarik perhatian saya, lebih tepatnya tidak ada yang tertarik dengan saya sehingga saya berharap dapat 'bonus' di akta nanti. Mungkin lebih tepatnya saya ingin jadi guru tetapi terlalu malas mengambil program studi pendidikan, malas buat makalah, penelitian tindakan kelas dan hal-hal macam itu, ..., banyak kemungkinan, ... singkat cerita, saya ambil program akta-4 di FIP UM
Mungkin juga saat lulus saya sedang jomblo dan saat melihat di buku daftar wisuda gak ada yang menarik perhatian saya, lebih tepatnya tidak ada yang tertarik dengan saya sehingga saya berharap dapat 'bonus' di akta nanti. Mungkin lebih tepatnya saya ingin jadi guru tetapi terlalu malas mengambil program studi pendidikan, malas buat makalah, penelitian tindakan kelas dan hal-hal macam itu, ..., banyak kemungkinan, ... singkat cerita, saya ambil program akta-4 di FIP UM
Jelas terdapat suasana berbeda di sini, karena selain FIP banget, yang ikut akta juga berasal dari kampus-kampus di luar UM, bahkan ada yang dari Jember. Hal lain yang membuat suasana berbeda adalah latar belakang teman-teman sekelas yang dari bermacam-macam jurusan, bayangkan saat diskusi kelas ada yang mengutip ayat Qur-an untuk berdebat, hm, begitu banyak perbedaan kultur belajar, dan itu sangat menarik. Tiap hari masuk jam 7 pagi hingga jam, hm lupa, mungkin jam 1 siang, senin-hingga jumat, jadi semacam back to school gitu.
Kalo ada yang menduga bahwa saya tertarik dengan salah satu cewek di sana, anda benar, tapi bukan itu yang akan saya ceritakan.
Tiap satu mata kuliah di akta berlangsung selama dua minggu termasuk UTS dan UAS, dalam dua minggu ada tiga mata kuliah yang diselesaikan. Tiap satu mata kuliah diampu oleh dua orang dosen yang mengajar bergiliran hari ataupun masuk dua-duanya ke dalam kelas, bahkan pada mata kuliah multimedia, ada tiga dosen yang masuk bersamaan ke dalam kelas. Pada minggu yang kesekian masuklah seorang dosen bernama Prof I Nyoman Degeng, membahas tentang cara mengajar berbasis konstruktivisme. Saya sudah bersiap-siap untuk bermimpi (kebiasaan kuliah di jam 10 ke atas setelah istirahat dan makan di kantin) ketika beliau bertanya
"Berapa 3x4?"
"12"
"yeah, benar. Apa cuma itu?"
"..."
"Apa cuma jawabannya cuma 12? misal murid anda nanti menjawab 1000 gimana? "
Ada yang nyletuk "loh itu kan banyolan pak, 3x4 di tukang foto kan?"
"Hm, anda bilang itu humor, tetapi kenyataannya benar kan? bahkan bisa saja 3x4 adalah 500 kalo kualitasnya jelek"
"...(gak nyambung)"
"Bagaimana kalo ada yang menjawab 3x4 adalah duuuuaaaaaa...?"
"..." (kelas hening, bingung darimana 3x4 kok jadi 2 )
Ada yang gak tahan "Kok bisa pak?"
"Nah, itu pertanyaan yang bagus, respon yang bagus seandainya anda nanti jadi guru"
"eh?"
"Respon yang kurang bagus adalah berkata 'guooooblook...' pada murid yang menjawab 3x4 adalah duuuuaaaa"
"..."
"Karena bisa saja si murid saking ngantuk atau lemesnya dia menjawab 12 dengan intonasi super lambat, duuuuuuaaaaaaaaa beeeeeeelllllaaaaasss....., oaehm"
............
Pak Degeng menekankan pada menuntun tiap anak untuk menjadi dirinya sendiri, tidak boleh ada paksaan, dan mendorang berpikir kritis.
"Lha kalo ada yang males pak?"
"Ya nggak apa-apa"
" ? "
"Kita tidak bisa memaksa semua anak menjadi rajin dan menjadi sukses semua, menjadi presiden semua. Di dunia selalu ada keseimbangan, jadi jika ada yang rajin maka kemungkinan besar dia akan jadi bos di sebuah perusahaan yang punya kantor bertingkat tujuh seperempat. Dan jika ada yang males, kita tidak bisa memaksa mereka untuk rajin, karena sebuah gedung perlu tukang sapu dan ngepel yang jarang dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi."
....
Tentang berpikir kritis, ada contoh
"Kenal Pangeran Diponegoro?"
serentak satu kelas "Kenal...!!!"
"Siapa"
"Pahlawan",
"Kenapa disebut pahlawan"
"Karena perang melawan belanda"
"Kenapa perang melawan belanda?"
"Karena belanda membuat jalan di atas kuburan leluhur Pangeran Diponegoro"
"hm, jadi PD adalah pahlawan karena itu? Perang 5 tahun karena kuburan leluhurnya digusur terus sembunyi di goa selarong?"
"iya, eh..."
"Misal sekarang, pemerintah akan membangun jalan utama di sebuah wilayah. Jalan tersebut menghubungkan sebuah wilayah yang terisolasi sehingga warga daerah terisolasi tersebut dapat berhubungan dengan daerah sekitar, arus ekonomi meningkat dan taraf hidup lebih baik. Nah, ada satu masalah, walaupun semua lahan untuk jalan teresebut sudah dibebaskan, ada satu lahan berukuran 3x3 meter persegi yang pemiliknya tidak mau melepaskan berhubung itu adalah kuburan kakeknya. Jalan sudah diaspal lurus menghubungkan kedua daerah dan hanya kurang di tempat itu. Jika dipaksa, sebenarnya bisa saja jalan dibelokkan untuk menghindari area 3x3 meter persegi tersebut dengan resiko... yeah anda tahu sendiri, kendaraan 100km/jam di jalan lurus tiba-tiba belok untuk menghindari kuburan. Misal anda adalah pemerintah, apa yang akan anda lakukan?"
"..."
"Ohya, jika PD adalah pahlawan, kenapa sembunyi di Goa Selarong?"
Sebenarnya Pangeran Diponegoro disebut pahlawan tidak hanya karena kuburan, namun di buku-buku sejarah kita itulah yang tertulis. Pak Degeng hanya memancing kita untuk berpikir kritis. Bukan hanya kuburan yang digusur yang membuat PD memerangi belanda, namun kelas hari itu berakhir sampai di situ...