Friday, December 9, 2011
CUDA
Do you have a computer with NVIDIA Graphics Card. If by any chance the answer is yes then you probably can use that machine to do some cool paralel computation task in this area:
Computational Structural Mechanics
Bio-Informatics and Life Sciences
Medical Imaging
Weather and Space
Data Mining and Analytics
Imaging and Computer Vision
Computational Finance
Computational Fluid Dynamics
Electromagnetics and Electrodynamics
Molecular Dynamics
Yeah, if you bought NVIDIA powered machine this year or last year, your graphics card maybe supported paralel computing using CUDA.
CUDA™ is a parallel computing platform and programming model invented by NVIDIA. It enables dramatic increases in computing performance by harnessing the power of the graphics processing unit (GPU).
With millions of CUDA-enabled GPUs sold to date, software developers, scientists and researchers are finding broad-ranging uses for CUDA, including image and video processing, computational biology and chemistry, fluid dynamics simulation, CT image reconstruction, seismic analysis, ray tracing, and much more.
GPU Computing: The Revolution
It's hard to believe that twenty years ago we stuck on a machine with no GUI and no multitasking, at least multitasking is rare thing. And ten years ago we stop increasing speed of processor at 3GHz, more than that is either we burn our computer or move our PC using towing car as conductor can't be any smaller. Developer focused on multicore machine and cluster machine.
You're faced with imperatives: Improve performance. Solve a problem more quickly. Parallel processing would be faster, but the learning curve is steep – isn't it?
Not anymore. With CUDA, you can send C, C++ and Fortran code straight to GPU, no assembly language required.
GPU computing is possible because today's GPU does much more than render graphics: It sizzles with a teraflop of floating point performance and crunches application tasks designed for anything from finance to medicine.
History of GPU Computing
http://www.nvidia.com/object/cuda_home_new.html
The first GPUs were designed as graphics accelerators, supporting only specific fixed-function pipelines. Starting in the late 1990s, the hardware became increasingly programmable, culminating in NVIDIA's first GPU in 1999. Less than a year after NVIDIA coined the term GPU, artists and game developers weren't the only ones doing ground-breaking work with the technology: Researchers were tapping its excellent floating point performance. The General Purpose GPU (GPGPU) movement had dawned.
But GPGPU was far from easy back then, even for those who knew graphics programming languages such as OpenGL. Developers had to map scientific calculations onto problems that could be represented by triangles and polygons. GPGPU was practically off-limits to those who hadn't memorized the latest graphics APIs until a group of Stanford University researchers set out to reimagine the GPU as a "streaming coprocessor."
In 2003, a team of researchers led by Ian Buck unveiled Brook, the first widely adopted programming model to extend C with data-parallel constructs. Using concepts such as streams, kernels and reduction operators, the Brook compiler and runtime system exposed the GPU as a general-purpose processor in a high-level language. Most importantly, Brook programs were not only easier to write than hand-tuned GPU code, they were seven times faster than similar existing code.
NVIDIA knew that blazingly fast hardware had to be coupled with intuitive software and hardware tools, and invited Ian Buck to join the company and start evolving a solution to seamlessly run C on the GPU. Putting the software and hardware together, NVIDIA unveiled CUDA in 2006, the world's first solution for general-computing on GPUs.
Bang Toyib Versi Arab
Jika mendengar lantunan diba' aku selalu (ya, selalu) menangkap lagunya, tidak pernah ayatnya. Sering sekali aku mendengar kata 'Bang Toyib' di otakku walaupun telingaku mendengar kata… kata…,hm… pokoknya kata-kata bahasa arab :). Bahkan di beberapa kesempatan, aku justru membayangkan videoklip lagu yang liriknya diganti ayat-ayat dalam buku diba'.
Aneh sekali, jarang sekali mendengar lantunan diba' memakai lagu-lagu kenangan 70-an, kebanyakan lagu dangdut.
Hm, aku bertanya-tanya sendiri bagaimana meningkatkan keimanan dengan cara mendengarkan diba'. Bagaimanapun bentuk kata arabnya yang kudengar adalah "Pak Lurah, salam hormat saya…. Bang Mandor, salam tengkiu saya…"
Tayub
Ada yang tahu tayub? Tayub merupakan kesenian daerah yang menyajikan pertunjukan campursari; lagu-lagu yang dilantunkan oleh sinden, ada beberapa ledek(penari) yang mbeso(menari tarian daerah). Para ledek tersebut menari dengan lawan tari dari para undangan yang menari secara bergiliran yang diurut berdasarkan nomor meja yang mereka duduki.
Dalam bahasa daerah saat saya SD dulu, tayub merupakan sebuah kerata-basa yaitu TAYUB = ditaTA supaya guYUB. Mungkin sesuai dengan semangat yang dibawa oleh namanya, secara teknis, pertunjukan tayub merupakan perjunjukkan yang terorganisir jika dilihat dari giliran menari para tamu, setidaknya di beberapa daerah.
Lama para tamu mbeso adalah satu lagu, setelah itu giliran mbeso tamu dari meja berikutnya dengan lagu yang mereka pilih. Di beberapa daerah, mungkin ada local genius yang melihat celah ini dan menjadi semacam hacker yang memanfaatkan exploit ini, yang justru menjadi lucu jika diterapkan secara ekstrim. Celah tersebut adalah jika lagu berganti, maka penari tamu juga harus ganti. Penggantian lagu biasanya dengan memberi sejumlah uang pada para yaga(pemusik), biasanya tukang kendang, yang langsung menghentikan gendhing(lagu) yang sedang berjalan dengan gendhing baru. Bisa dibayangkan situasinya jika tiap lima detik lagu diganti.
Celah tersebut biasanya memicu kerusuhan di beberapa pertunjukan tayub, tentu saja hal itu bisa dimengerti. Minuman keras biasanya selalu ada di tiap meja, kebanyakan mabuk digunakan sebagai pemanasan, jadi tidak malu saat menari. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba lagu berhenti dan harus turun, hm…
Penari tamu tidak harus pria, wanita pun ada, walaupun tidak ada ledek pria.
Mungkin awalnya tayub digunakan sebagai pamer keahlian menari jaman dulu, semacam karaoke sekarang ini. Namun yang sering kulihat lebih condong ke mabuk-mabukan yang 'diper-halal' atas nama budaya.
Sepur Mesle Ngajubile
Beberapa hari yang lalu aku tiba-tiba Heri nyletuk saat sedang chatting begini (kutipan perhuruf, :) ):
"mas,,,asolole kuwi konon katanya dari kata allohuma sholi alaih, kemudian jadi sholi alaih, kemudian jadi asolole,,,hehehehe"
Di bahasa kita sehari-hari kita menjumpai bahasa-bahasa yang diambil dari bahasa lain. Kita telah begitu terbiasa sehingga seakan-akan bahasa tersebut memang bahasa kita. Banyak kata-kata serapan yang bahkan berubah fungsi semacam "beh, kopine enake jian ngadubilah" yang merupakan pujian untuk kopi yang enak. Mungkin 'ngadubilah' berasal dari kata lain atau mamang kata asli, namun kupikir 'ngadubilah' berasal dari kata 'naudzubillah'.
Di Lupus Kecil ada penggunaan bentuk lain 'naudzubilah' yang berlawanan dengan diatas, yaitu saat rumah Lupus kebanjiran "kasur yang ditumpuk di meja makan karena kebanjiran yang baunya ngajubile"
Mesle => miss-lay. Mesle adalah bahasa jawa untuk mengungkapkan peletakkan barang yang kurang pas.
Lampu => lamp
Sepur => spoor (belanda), artinya track atau lintasan, dalam bahasa inggris berarti juga berarti jejak (bau) binatang. Kita sering lihat peringatan 'perlintasan kereta api satu sepur'. Sepur dalam bahasa jawa artinya kereta api. Walaupun arti dari peringatan 'satu sepur' (satu rel) dengan sepur (kereta api) berbeda namun bisa diambil akarnya dari spoor. Di bengkel mobil ada servis namanya 'spooring' tujuannya untuk meluruskan roda depan dan belakang agar mobil berjalan lurus.
Tentu saja ada penggunaan kata yang sebenarnya bukan serapan namun entah bagaimana kata tersebut jadi populer. Pernah saya dengar pembawa acara Tayub yang dalam pembukaan acara menggunakan salam jawa yang populer namun agak aneh sehingga mengundang senyum bahkan gelak tawa pendengar (aku yang sedang bermalas-malasan tidur siang pun dipaksa nyengir saat kata tersebut nyelonong masuk lewat jendela kamarku). Kata tersebut adalah 'Salamalekum salam,...'
Wednesday, December 7, 2011
Lagu anak
Iku mono ra sepiro, ibarat aku duwe konco
Lagak e koyok jutawan ngalor ngidul gowo koran,
Iku mono ra sepiro, ibarat aku duwe tonggo
Arek e ayu temenan jarang metu nang embongan
Tibakno meteng rong ulan merek ojek an
(
Lagaknya seperti jutawan keutara selatan bawa koran,
Itu belum seberapa, ibarat saya punya tetangga
)
Jika benar ingin melestarikan kebudayaan daerah semacam jaranan, kenapa tidak pake lagu anak-anak saja? Tidak perlu mengusung lagu-lagu dewasa untuk dinyanyikan anak-anak. Lagu-lagu jaranan banyak sekali, semacam 'ing wayah esuk jagone kluruk', 'lumbung desa', 'sawo glethak' lebih netral untuk dibawakan segala umur.
Lagu dolanan anak-anak juga banyak semacam 'Padang bulan', 'Cublek Suweng' (yang bahkan dibawakan oleh Slank), 'Dondong apa salak', 'Sluku Bathok'. Itu baru namanya melestarikan budaya, bukan membunuh budaya.
Telepon
Kulihat wajah-wajah di sekitarku, rata-rata ingin segera dilayani, tentu saja. Dan kegiatan standar orang Indonesia saat menunggu adalah pegang hp, entah itu kirim sms, facebook atau sekedar diunlock trus dibiarkan sampai terkunci untuk diunlock lagi, seperti saya, :).
Seorang bapak menerima panggilan telepon, memakai jaket kulit celana kain coklat mentah dengan tas pinggang dan sandal kulit. Karena dekat, dengan jelas dapat kudengar percakapannya, dari pihak bapak itu tentu saja.
"Maaf pak, hari ini terpaksa tidak bisa. Anak saya itu sedang sakit, ini saya sedang di rumah sakit menunggu, dia tidak mau saya tinggal"
Orang-orang memandang bapak itu, yang agak serba salah.
Telepon di saku jaket bapak itu berbunyi lagi.
"Maaf pak, maaf sekali, ini saya mau ke apotik saja tidak bisa, anak saya tidak mau ditinggal, ini dia nangis"
Bapak itu semakin gelisah dan serba salah, sedangkan saya melayangkan pandangan ke antrian yang mulai saling memandang satu sama lain sambil tersenyum penuh arti melihat keadaan bapak tersebut.
Sementara antrian sedikit demi sedikit mulai menipis, bapak tersebut masih menerima beberapa kali telepon lagi. Akhirnya tiba giliran bapak tersebut. Tentu saja karena dekat saya juga ikut menyimak komplain bapak itu
"Loh, padahal sudah sejak minggu kemarin lho, kok gitu sih?"
"Memang gitu pak, kan kemarin sudah dibilang, kalo mau kesini telpon dulu"
"Gimana sih, padahal sudah jauh-jauh datang dari Pasuruan ke Malang"
"Maaf pak, nanti kami kabari kalo barangnya sudah ada. Sparepart Peugeot memang harus inden dulu ke Surabaya atau Jakarta..."
(Percakapan terjadi di sebuah toko onderdil mobil)
Monday, December 5, 2011
Dari Rock ke Asolole
Wah, benar memang dia.
Saat itu aku menghadiri undangan nikahannya... nikahannya... hm..., anu, eh, sebenarnya gak begitu kenal, tapi sebagai 'orang desa' maka aku hadir juga. Nah seperti kebanyakan acara nikahan di desa, maka para undangan pun disuguhi live musik jenis campursari-dangdut-koplo-asolole (duh...).
Biasanya aku cuek dengan acara-acara begituan, namun saat itu aku mendadak jadi sangat tertarik dengan musik yang 'hadeww...' itu. Sudah dapat diduga, aku tertarik dengan penyanyinya, hehehe. Bukan karena keseksiannya, baik badan maupun suaranya, namun penyanyi di grup tersebut adalah teman nglayapku waktu SMU, wow...
Reaksi pertama adalah terkejut dan senang. Jadi ingat saat-saat bengal di SMU; dia adik kelas, dulu sering nglayap rame-rame sama teman satu band ke danau sepulang sekolah dengan tetap pake seragam SMU.
Dia memang bukan vokalis band-ku namun dia sering tampil sebagai semacam vokalis tamu di Babon Band (nama band-ku). Ceria, semangat.
Reaksi kedua adalah terrkejut (eh sama) dan prihatin. Beberapa tahun setelah lulus SMU memang dia kemudian berprofesi sebagai penyanyi dangdut. Pada beberapa kesempatan, sering kudengar lantunan lagu-lagunya saat ada tetangga punya hajat. Dia menjadi semacam primadona lokal di daerahku. Bangga juga melihat teman bengalku 'jadi orang', semangat dan ceria.
Namun malam itu, tak kulihat bara semangat di matanya. Lagu-lagu yang dibawakannya sudah kehilangan nyawa. Dia, meminjam kata Bang Zaitun di Laskar Pelangi Maryamah Karpov, sudah menjadi JukeBox, sebuah mp3 player.
Seperti banyak dari kita sudah tahu. Lagu-lagu dangdut yang laris manis saat ini adalah lagu-lagu lama yang diaransemen ulang menjadi dangdut-koplo-asolole dan menjadi lagu standart di acara-acara pernikahan atau sunatan. Tentu saja music live organ tunggal/electone di acara-acara tersebut juga menampilkan musik dangdut macam ini atas permintaan pendengar. Dan temanku juga mau tidak mau harus membawakan lagu-lagu itu.
Saat ini acara live musik dangdut di acara-acara pernikahan sudah menjadi semacam tayub modern. Ada yang tahu Tayub? Tayub adalah pertunjukan dimana beberapa sinden membawakan lagu-lagu campursari dengan menari di panggung sambil ditemani penari dari para undangan secara bergiliran dari meja satu hingga meja kesekian. Nah, live dangdut sekarang juga semacam itu.
Masalah muncul dari pemaksaan model tayub saat live dangdut di acara-acara pernikahan atau sunatan. Pada tayub, tarian para undangan biasanya serasi dengan tarian para sinden, karena lagu yang dibawakan memang menuntut tarian yang model seperti itu. Disamping itu, pada tayub, para sinden juga memang 'didesain' untuk menari seirama dengan lagu dan undangan.
Pada live-dangdut-koplo-asolole, para penari dari, misal, meja 3, akan naik ke panggung, minta lagu yang 'itu' tidak peduli walau lagu itu telah dibawakan tiga kali sebelumnya, dan joget dengan gaya masing-masing; bukan pemandangan yang menarik. Penyanyi juga terpaksa mati gaya, selain menyanyi dia juga harus 'melayani' para undangan berjoget di panggung yang gayanya 'duh...'.
Malam itu kulihat teman bengalku, yang dulu terkenal karena keseksian goyangan dan suaranya, menyanyi seperti melamun, penonton tidak lagi dapat melihat goyang terkenalnya karena tertutup para penari setengah mabuk dari meja nomor 3.
Saat aku pulang kusempatkan mendekat ke panggung menunggu pandangannya terarah padaku. Kulambaikan tanganku, dia mengenaliku dan balas melambai dengan antusias, sekilas kulihat keceriaan masa SMU dulu, satu-satunya keceriaan lepas yang dia perlihatkan malam itu, dan saat ku pergi, momen itu pun belalu.
Kasihan.
My sky is high, blue, bright and silent.
Nugroho's (almost like junk) blog
By: Nugroho Adi Pramono