P Rosyid menulis tentang langgam beberapa waktu lalu.
Dan saya juga ingin menulis. Memang lain, ini tentang gendhing jawa. Betapa dulu ketika masih aktif nge-band sering kesulitan menirukan lagu-lagu jawa tertentu. Bukan lagu-lagu semacam Gambang Semarang atau langgam atau Bossanova Jawa; itu relatif mudah.
Lagu-lagu yang memiliki gaya klasik. Lingsir Wengi, Kusumaning Ati,...
Dalam beberapa hal, musik jawa memang lain dibanding dengan musik “standar” saat ini.
Di musik selain jawa. Alat-alat musik ritmis/perkusi digunakan untuk menjaga irama, menghitung ketukan, menandai birama. Entah itu drum, bongo, ketipung, tambourine atau gendang. Mereka memiliki beat tertentu.
Seperti gendang di lagu-lagu melayu, bongo/conga di lagu-lagu latin semacam sway atau volare. Juga drum di lagu-lagu…eh, banyak lagu, :)
Di musik jawa, di gendhing-gendhing yang mengiringi tembang semacan Dhandhanggula, Durma, Maskumambang, Pucung, atau beberapa gendhing yang agak modern (semacam Ela-Elo ciptaan Menik Sunyahni), alat musik yang seharusnya untuk ritmis malah seakan tidak punya ritme.
Gendhang di musik jawa tidak digunakan untuk menandai ketukan. Dia disebut sebagai pamurba (di buku kembang setaman) entah apa itu maksudnya :), satu hal yang pasti, kita tidak mengikuti irama gendhang saat mendengarkan tembang. Tabuhan gendhang juga berbeda untuk tiap musisi, walau musiknya sama.
Dan penabuh gendhang biasanya adalah primadona. Lain dengan pemain saron atau bonang atau gong. Di musik jawa, merekalah yang menjaga ritme. Mereka memiliki irama konstan dari awal hingga akhir lagu.
Jika gitaris atau pianis merupakan primadona di suatu band, penabuh gendhang merupakan bintang di sebuah grup karawitan, :)
(foto dari https://tukanggamelan.files.wordpress.com/2013/10/gamelanrex11.jpg)