Alfa suka roti bakar "tesoberry" buatan ibuknya atau buatanku (yang hampir pasti selalu gosong, :) ).
Kadang dia ingin rasa lain.
Beberapa hari sekali minta roti bakar keju dan "yang coklat untuk adek". Beta memang suka coklat.
Jadilah, jika di pagi hari dia pesan sewaktu saya akan berangkat ngampus (saat dia kuantar ke rumah budhe), maka pulang harus bawa roti bakar bandung rasa coklat dan keju terpisah buat mereka.
Awalnya saya langganan beli roti bakar di pertigaan yang lumayan dekat dengan rumah. Langganan, yeah, karena di situ selalu sepi, jarang sekali ngantri.
Ternyata juga jarang sekali penjualnya ada meski dagangannya ada, entah kenapa.
Ehm, sepi, ternyata itu. Tetap saja kadang saya rela menunggu lima belas menit untuk orangnya datang. Pulang ke rumah dengan tangan kosong bukan pilihan yang bagus, meski Alfa Beta terkadang juga tidak protes.
Mengajari mereka menepati janji dengan contoh nyata, :)
Suatu malam, pulang ngampus, dapat "order" untuk bawa roti-bakar. Ndilalah tukang roti bakar di pertigaan situ tak ada, berikut jualannya. Tutup.
Terpaksa balik ke arah kampus. Targetnya ke perempatan Galunggung. Dulu sepertinya ada.
Eh, ternyata selepas perempatan Dieng ternyata ada. Coba ah.
Kebetulan, hanya ada satu pembeli, mbak cantik yang sedang duduk di sadel bebek matic putih, pesanannya hampir selesai, relatif sepi.
Sehabis turun dari si ducati langsung disapa
"Rasa apa mas?"
"Coklat keju, mas"
"Dicampur atau pisah?"
"Pisah"
"Tunggu sebentar ya"
"nggih"
Pesanan sebelumku telah jadi, terbungkus kertas minyak coklat, dan sudah masuk kantong plastik hitam. Entah rasa apa.
"sudah mbak"
Si mbak cantik, mengeluarkan uang seratus ribu.
Tanpa diduga, mas penjual roti minta ijin ke warung tenda sebelah untuk tukar recehan.
Wow, kejadian langka. Harusnya, eh, biasanya, penjual akan sedikit protes atau setidaknya tanya "apakah ada uang kecil?'.
Kesan pertama.
...
Roti panggangku sudah separuh jalan. Tinggal dihias cokelat dan keju.
Si mas memberi taburan cokelat meses dengan royal, sampai-sampai ketika roti ditutup jadi langsung berubah wujud, obesitas.
Hal yang sama juga terjadi pada parutan keju. Hampir setengah batang dihbaiskan hanya untuk rotiku.
Panik, meroh]goh dompet, kulihat daftar harga. Sama, tujuhbelas ribu. What the...
"Ini mas, " tiba-tiba kantong plastik berisi roti yang terbungkus kertas minyak cokelat disodorkan ke tanganku.
Kubayar dengan tiga lembar lima ribuan dan selembar dua ribu, yang diterima dengan senang hati, ada bahan untuk uang kembalian.
Dan malam itu, di rumah, kami berempat seperti pesta roti mewah, :)
...
Hari-hari berikutnya selalu pesan ke tempat itu.
Selalu bayar dengan uang pas.
Selalu di jam yang hampir sama.
Selalu dengan jaket gunung kuning menyala.
Selalu bayar dengan uang pas.
...
Suatu malam, pembeli sedang banyak-banyaknya. OK, tak apa, nunggu sambil main-main handphone.
Satu demi satu pembeli terlayani hingga tinggal dua orang. Sepasang cowok-cewek yang naik motor touring dan aku. Rotinya sudah selesai. Ada satu roti yang juga siap dibungkus
Ups, lupa pesan.
"Eh mas, coklat keju"
"Sudah tahu kok, ni tinggal mbungkus "
Eh.
Si mas penjual sudah hafal. Mungkin.
...
Beberapa hari setelah itu. Datang ke sana, sengaja diam untuk mengetes.
Dan..., coklat-keju. Otomatis. Valid, si mas penjual roti telah hafal, hehehe.
Bakal ke situ terus.
Sepertinya dihafal oleh seseorang memang bukan apa-apa, tak ada artinya, bagi beberapa orang.
Tetapi itu juga merupakan kemewahan, meskipun kecil.
Dan itu juga merupakan nilai lebih, meskipun kecil.
Juga merupakan nilai tambah, nilai jual, meningkatkan daya saing, meskipun kecil.
Itu yang membuat saya ke situ terus.