Monday, March 28, 2016
Sunday, March 27, 2016
Megatruh dan Kinanthi
M : Hari ini capek Kin
K : Tumben Meg?
M : Eh, capek kok tumben
K : Lha ya itu, kamu kan cuma makan tidur tok, kuliah juga jarang, kok bisa sampai capek?
M : Dasar... Ni klenger habis berhari-hari ngerawat temen satu kost yang sakit
K : Wow, sejak kapan kamu perhatian sama orang?
M : Kayaknya kena gejala tipes
K : Keren, sejak kapan kamu jadi bisa diagnosa kayak dokter gitu?
M : Harus belikan dia makan dan memastikan dia menghabiskan
K : Wah, harus traktiran nih, padahal kamu ngerawat diri sendiri saja tidak bisa
M : Kamu itu Kin, ada teman kerepotan gini malah ndak simpati sama sekali
K : Ups, jadi kamu repot ya, sori ganggu, eh , tapi tunggu, bukannya kamu yang tadi cerita duluan Meg, walah.
M : Huh, tak tidur aja, repot curhat sama kamu
K : Hei, tunggu Meg, memangnya kamu gak telpon atau sms atau WA keluarganya gitu?
M : Iya sih, tapi dia yang gak mau kalo keluarganya ke sini
K : Lha kenapa? Kan lebih bagus kalo dirawat keluarganya, daripada dirawat orang gak jelas kayak kamu.
M : Gak boleh ke sini sama dia. Dia gak mau ngerepotkan keluarganya.
K : Wow, keren sekali prinsipnya. Mirip sama prinsipku.
M : Eh, tumben kamu pake prinsip-prinsipan segala, memang punya?
K : Jelas punya lah, sudah kutetapkan sejak 7¾ detik yang lalu
M : Sudah kuduga
K : Gak pengin tahu?
M : Gak
K : Tanya dong
M : (ambil napas panjang), ok, apa?
K : RAHASIA...
M : (Lempar sandal)
K : (tangkap sandal), Ya ampun Meg, sampai sendal pun beda warna, itu kan style-ku. Kamu benar-benar repot ya. Benar-benar bagus prinsipku yang baru ini berarti.
M : Memangnya apa sih?
K : Prinsipku? Daripada menyusahkan KELUARGA, lebih baik menyusahkan TEMAN DEKAT.
M : (lempar sandal satunya)
K : (tangkap sandal) makasih, kupinjam dulu, beli lalapan, hm..., pink sama hijau, kesukaanku.
Thursday, March 24, 2016
Shooting Method on Potential Well
It's the base code I wrote using Python, still need improvement to get energy level or even what energy allowed in the system.
.
from pylab import *
n = 19
psi0= zeros(n)
psi = psi0
x = linspace(0,1,n)
psi0[0] = 1.
plot(x,psi)
t = 0
dx = 1./8.
E = .1
V = 0.
while t< 27:
t += 1
E += .2
k = 2*dx*dx*(E-V)
for i in range (1,n-1):
psi[i+1] = 2*psi0[i]-psi0[i-1]-k*psi0[i]
psi0 = psi
plot(x,psi)
xlabel('x')
ylabel('psi')
title(':)')
grid(True)
savefig("els.png")
show()
Tuesday, March 22, 2016
Sourdough Starter
Ngapain repot-repot bikin adonan biang kalo gak bikin roti?
Ehm, itu dua hal.
Bikin sourdough starter tidak repot, cukup campur tepung dan air. Biarkan semalam, tambah lagi tepung dan air, biarkan lagi semalam, ..., dst. Lactobaccilus dan Saccharomyces akan bekerja otomatis dan dalam seminggu jadilah adonan biang siap pakai dan siap rawat.
Lah, gimana merawatnya? Pakai setengah adonan dan tambahkan lagi tepung dan air.
Berarti harus bikin roti tiap hari?
Gak harus roti kok.
Buat campuran telur dadar juga ok, mengembang, ada crust nya, kerak, berongga, kenyal, asam, asin, mirip roti tawar keju, eh...
Enak, bagiku.
:)
Monday, March 21, 2016
School of Physics
Kegiatan yang biasa, belajar fisika. Di luar kampus, di tempat yang nyaman, beberapa mungkin tempat wisata, tetapi tidak untuk rekreasi, untuk belajar.
Topik biasanya dipilih, jadi ada SOP Mekanika (di Borobudur, Magelang), SOP Quantum di Kaliurang. Yang terakhir adalah SOP Gravitasi di Batu, Malang.
Peserta boleh berasal dari manapun. SOP pertama diikuti oleh mahasiswa S2 UGM dari lab KAM (Kosmologi, Astrofisik dan Fisika Matematik), dengan tema Classical Mechanics Weekend.
Seiring waktu, peserta mulai berkembang. SOP Quantum di Kaliurang Yogyakarta diikuti oleh peserta dari UGM, UNY, UAD, Yogyakarta, Unnes Semarang, UM Malang, ITS Surabaya.
SOP pernah keluar dari Yogyakarta (ehm, bahkan yang pertama di Magelang, :) ). Pernah dilakukan di Semarang.
Kali ini diadakan di Batu, Malang Raya, Jawa Timur. Dengan empat panitia, secara tak resmi berjumlah 4¾. Tanpa ketua, tanpa struktur. Lha kok bisa? Heh, ada SOP sebelum ini yang bahkan cuma 1 orang panitia, dengan struktur (ketua, sekretaris, bendahara, sie konsumsi, dilakukan satu orang :) ). SOP selalu unik. Tak apa, asal peserta nyaman untuk belajar.
Biaya diusahakan seminimal mungkin, untuk kegiatan selama tiga hari dua malam, biaya menginap dan makan, peserta membayar sekitar Rp.200.000 (bisa lebih bisa kurang, tetapi tidak jauh-jauh dari itu).
OK, itu murah, lumayan, trus apa istimewa-nya?
Ehm, pemateri tidak dibayar, :)
Yeah, pemateri membayar seperti peserta biasa. Berangkat sendiri ke tempat acara, dan membayari biaya transport sendiri. Ini menjelaskan kenapa biaya SOP bisa sangat murah. Tak ada anggaran untuk honor pemateri.
Lho kok mau?
Eh, justru bagus kan? Pemateri yang bersedia adalah pemateri yang datang bukan untuk uang, melainkan memang benar-benar ingin transfer ilmu.
Jadwal yang penuh dengan materi tanpa rekreasi juga strategi yang bagus. Hanya yang ingin belajar fisika yang ikut. Cuma sedikit? Tidak juga. Gimana kalo ternyata cuma sedikit? Tidak masalah, justru belajar jadi lebih nyaman.
Benar-benar tak ada rekreasi? Yup. Jika ingin, bisa dilakukan setelah bangun tidur pagi hari (kemarin tidak mungkin, jam 5 pagi bersuhu 17 C, :) ). Bisa juga dilakukan saat istirahat makan siang (petik apel tanah seperti yang dilakukan Deny sama Syawal)
Bisa juga dilakukan di hari terakhir setelah penutupan. Kegiatan hari terakhir SOP biasanya hingga pukul 12.00, sudah termasuk penutupan.
Begitulah, School of Physics.
Asyiknya, seperti jet-lag, selang beberapa hari setelah kegiatan, handphone tak henti-hentinya dapat notifikasi "like" setelah upload foto-foto di facebook, :)
Friday, March 18, 2016
The Sacred Nine of *nix
Linux pertama saya, sekaligus perkenalan awal saya dengan dunia UNIX, adalah Linux Mandrake 9, dengan kode Bamboo. Mandrake Bamboo cukup cepat di desktop AMD Duron rakitan saya. Jauh lebih cepat dari Win XP.
Segunung aplikasi pre-installed di Mandrake Bamboo membuat saya jatuh hati dengan Linux dan berniat untuk suatu saat nanti terjun sepenuhnya ke dunia UNIX. Sebuah komitmen aneh di tahun 2003, di Indonesia yang infrastrukturnya didominasi oleh Microsoft Windows.
Kenapa? Karena game-nya banyak, :)
(Pernyataan yang aneh juga, game yang bagus saat itu kebanyakan ada di Windows)
Uh, oh, ok, karena ada game bernama Enigma. Otak saya secara fisik, psikis dan spiritual langsung menyukainya. (Di tulisan lain)
Saat itu Linux juga sangat mudah dikustomisasi.
Skripsi pake Linux? Tidak, saat itu Open Office belum bisa diandalkan (menurut saya). Juga karena saya bekerja dengan Macromedia Flash yang tidak ada versi Linux-nya.
Lha kenapa ngotot nginstal, belajar Linux? Yeah, karena masih idealis, dan orang idealis (dengan tambahan keras kepala) susah dibelokkan. :)
Saya mendapatkan Mandrake Bamboo dari suplemen majalah InfoLINUX. Dan hanya satu CD. Mandrake 9.1, Bamboo memerlukan tiga CD-ROM untuk paket lengkapnya. Toh hanya dengan CD pertama saja saya sudah punya sistem desktop lengkap, KDE, dengan OpenOffice, XmmS dan Xine.
Tentu saja saya penasaran dengan isi CD kedua dan ketiga karena bagi saya desktop saya sudah lengkap dengan satu CD saja. Tentu saja pembanding saya adalah WinXP, yang memerlukan satu CD untuk instalasi, satu CD untuk office, dan berbagai CD untuk berbagai aplikasi (di Bamboo, semua itu termuat dalam satu CD saja).
Bukankah ada di internet? Yeah, saat itu adalah era baru internet di indonesia, kecepatan maksimal sebuah warnet adalah 128kbps yang di-share dengan 60 pengguna lainnya.
Download 1 CD membutuhkan waktu semalaman.
Solusi teratasi saat ada teman yang bilang bahwa ada linux di salah satu persewaan software bajakan (ironis, :) )
Segera saya hunting ke sana. Ada memang, senang dan gugup.
Senang karena akhirnya bisa mendapatkan copy linux.
Gugup karena yang ada hanya Mandrake versi 10. Apa-apaan ini? Tiap tahun ada versi baru?
Karena tak ada pilihan, dan saat itu RedHat begitu menakutkan, maka saya menginstall Mandrake 10 di desktop saya. 4 CD dengan opsi penuh. Saya harus bolak-balik memasukkan CD dengan urutan sesuai yang diminta ;tidak urut 1,2,3,4 tetapi sangat acak dan tidak cuma empat kali, 1,2,4,2,3,2..., belakangan saya tahu hal itu karena dependensi sebuah software di satu CD berada di CD yang lain. Pengalaman barubagi saya.
Dan Mandrake 10 terlalu "biasa" bagi saya. Tidak menarik lagi.
Saat itu saya mulai berlangganan InfoLINUX. Di suatu edisi majalah itu menyebut beberapa distro besar; Redhat, Debian, Mandrake, Slackware dan SuSE. Otak saya langsung klik dengan nama yang terakhir. Mungkin juga karena InfoLINUX menulis bahwa SuSE adalah semacam distro yang banyak digunakan sebagai desktop pengganti Windows di eropa, sedangkan keempat distro lain banyak digunakan di server. Server adalah kata yang asing dan menakutkan bagi saya saat itu.
Dan InfoLINUX memberi bonus CD keping pertama SuSE 9.1, berlogo kadal, warna hijau, dan saya langsung jatuh cinta pada si Gecko ini (sampai sekarang, :) )
Di keping pertama ini sudah tersedia sistem operasi GUI dengan desktop KDE dan Office Suite lengkap.
Tentu saja saya penasaran dengan versi lengkap SuSE ini.
Ke persewaan software dan ada, SuSE 9.1, lima keping CD, horee...
Distro ini super lengkap, lebih lengkap dari Mandrake.
Di titik ini saya menginstal berbagai distro di komputer desktop saya dengan model multiple booting. Hal yang lumayan menantang karena saat itu hanya SuSE yang menggunakan grub bootloader sedangkan hampir semua distro lain menggunakan lilo.
Saat itu konfigurasi yang saya pakai adalah
SuSE (default)
Windows XP
Distro lain
Saya menggunakan SuSE hampir di semua hal, mengetik, mengedit gambar dengan GIMP, mendengar lagu lewat XmmS, menikmati video dengan Xine atau mPlayer. Merekam lagu dengan Hydrogen dan ... (lupa, software untuk membuat loop drum)
Hampir semua hal, kecuali mengetik skripsi di Ms Word dan mengembangkan software di Macromedia Flash.
Distro lain untuk apa? Coba-coba tentu saja. SuSE sudah sangat stabil dan mapan bagi saya. Sayang jika mau "merusak" konfigurasi cantik yang saya bangun berminggu-minggu.
Distro lain ini sebagai lahan saya untuk mengeksplorasi linux. Saya tulis distro lain bukan berarti saya tidak mengoprek SuSE lagi. Pada satu kesempatan saya pernah menginstall SuSE berdampingan dengan yang sudah ada karena ingin "membedah" dia lenih jauh.
Dengan demikian saya bisa mengenal karakteristik berbagai distro linux yang ada saat itu. Saya juga jadi mengenal KDE, Gnome, FluxBox, WindowMaker. Saya juga tahu bahwa ada dua desktop besar dan distro-distro yang ada cenderung menggunakan salah satu desktop dan kurang mendukung desktop lain. Semacam SuSE dan Mandrake yang memiliki desktop KDE yang bagus namun Gnome yang sangat jelek dan sering eror (saat itu), di sisi lain, Ubuntu dan Fedora Core menggunakan Gnome dan KDE susah sekali diinstall di sana. Itu dulu, sekarang hampir semua distro dapat diistall KDE maupun Gnome.
Tibalah saat update SuSE ke 10, kecewa. Ternyata sangat lambat sekali. Saya pengguna KDE dan sepertinya SuSE sedang mendekat ke arah Gnome. Kembali ke Mandrake yang sudah berganti nama menjadi Mandriva.
Dan begitu rilis berikutnya SuSE (sekarang menjadi OpenSuSE) menggunakan desktop default Gnome, meski kita bisa menginstal KDE secara manual. Saya berhenti menggunakan SuSE terbaru. Balik ke SuSE 9. Saat itu saya sudah menggunakan laptop. Laptop utama saya tetap menggunakan SuSE, multiple boot dengan Windows dan berbagai distro muda seperti ubuntu (sebenarnya distro lama tapi sebelum punya laptop, spesifikasi desktop saya tidak memenuhi syarat minimal), LinuxMint, PCLinux OS, bahkan ke Minix.
Berhenti menggunakan SuSE saat memiliki MacBook, desktop OS X lumayan bagus bagi saya untuk menjadi desktop utama, bersisian dengan ubuntu dan windows.
Di ruang kerja, saya menggunakan Debian, cabang unstable dengan kode Sid (karakter nakal di Toy Story), jadi saya tidak begitu mengenal Lenny, Sarge atau Woody, Etch. Dari dulu hingga sekarang, Sid will always be Sid, :) . Satu CPU spek rendah menggunakan ubuntu. Keduanya window manager fvwm. Nggak tahu kenapa, Linux sekarang semakin tambah berat saja.
Saat ini, dengan adanya huru-hara systemd, saya beralih ke FreeBSD dengan desktop KDE. Sangat mengejutkan, karena desktop saya jauh lebih cepat dari ketika menggunakan Linux. Hampir setara dengan OSX, mungkin karena OSX berakar dari Freebsd.
Peralihan ini bukan tanpa masalah. Saya menginstall rilis stabil terakhir 10.2, dan kartu jaringan desktop terdeteksi, mendapatkan IP secara dhcp, namun ketika terjadi aliran data, kartu jaringan langsung macet. Mencari bantuan di berbagai komunitas, ada proses panjang patch yang harus dilakukan. Malas. Mencoba rilis lama yang benar-benar stabil.
Akhirnya terinstall 9.3 tanpa masalah, dengan KDE, cepat dan lancar.
Well, kesan saya di dunia Linux dan UNIX, atau keluarga *nix secara keseluruhan adalah 9
SuSE 9.1
FreeBSD 9.3
Subscribe to:
Posts (Atom)
My sky is high, blue, bright and silent.
Nugroho's (almost like junk) blog
By: Nugroho Adi Pramono
323f
(5)
amp
(1)
android
(12)
apple
(7)
arduino
(18)
art
(1)
assembler
(21)
astina
(4)
ATTiny
(23)
blackberry
(4)
camera
(3)
canon
(2)
cerita
(2)
computer
(106)
crazyness
(11)
debian
(1)
delphi
(39)
diary
(286)
flash
(8)
fortran
(6)
freebsd
(6)
google apps script
(8)
guitar
(2)
HTML5
(10)
IFTTT
(7)
Instagram
(7)
internet
(12)
iOS
(5)
iPad
(6)
iPhone
(5)
java
(1)
javascript
(1)
keynote
(2)
LaTeX
(6)
lazarus
(1)
linux
(29)
lion
(15)
mac
(28)
macbook air
(8)
macbook pro
(3)
macOS
(1)
Math
(3)
mathematica
(1)
maverick
(6)
mazda
(4)
microcontroler
(35)
mountain lion
(2)
music
(37)
netbook
(1)
nugnux
(6)
os x
(36)
php
(1)
Physicist
(29)
Picture
(3)
programming
(189)
Python
(109)
S2
(13)
software
(7)
Soliloquy
(125)
Ubuntu
(5)
unix
(4)
Video
(8)
wayang
(3)
yosemite
(3)